Abstract

ABSTRAK


            Tertanam 3 (tiga) metode hukum mengenai pembagian harta warisan (pewarisan) yang ada di Indonesia, yakni manifestasi dari aturan pewarisan sesuai syariat Islam, praktik hukum pewarisan adat dan praktik hukum pewarisan perdata, yang mana pada praktiknya peraturan waris suatu kelompok rakyat daerah banyak diakibatkan dengan adanya kepercayaan pembentukan naluri kekeluargaan masyarakat daerah tertentu, semacam halnya warga daerah Aceh yang menerapkan metode kekeluargaan parental / bilateral, maksudnya praktik pewarisan dimana anak baik itu pria ataupun wanita memiliki kedudukan sama, yang artinya kedua anak tersebut memiliki kesempatan untuk menjadi ahli waris. Berdasarkan pada Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Keistimewaan atau Kekhususan daerah Aceh, menerangkan jika daerah Aceh merupakan daerah yang mempunyai istimewa dengan kekhasan yang ada pada bidang adat, agama dan pendidikan. Hal tersebut terbukti jika pemerintah Indonesia juga telah menciptakan wadah bagi masyarakat daerah setempat untuk merevitalisasi tradisi adat yang ada pada masyarakat, diantaranya adalah pengalihan kekuasaan pemerintahan untuk menyelesaikan sengketa waris yang diputuskan oleh Majelis Adat Aceh (MAA). Tugas Majelis Adat Aceh (MAA) sendiri dalam penyelesaian sengketa mengenai kewarisan di Provinsi Aceh adalah sebagai suatu lembaga adat yang menjadi Mediator atau orang ketiga yang bertugas menjadi wadah masyarakat Aceh untuk melakukan mediasi, negosiasi, maupun arbitrasi untuk menyelesaikan pembagian harta warisan.